Oleh: Dr. Nurmadhani Fitri Suyuthi SE,. M.Si*
Makassar, Sulawesi Selatan, ABIM (24/10/2020) – Isu politik saat ini selalu menarik dikaji sebab secara umum akan bermuara pada strategi
memperoleh kekuasaan. Bagi masyarakat di Indonesia momentum pilkada selalu menjadi
momen yang ditunggu-tunggu dan sangat merebut perhatian masyarakat maupun media.
Pesta demokrasi mendorong antusiasme warga untuk ikut serta dalam berbagi informasi terkait
pilkada, sayangnya informasi yang diolah di media sosial ada yang berdasar pada fakta dan ada
yang belum diketahui kebenarannya, sehingga ini menjadi pemicu munculnya kekacauan
informasi. Kekacauan informasi merupakan informasi yang keliru yaitu misinformasi/informasi
salah yang dipercaya sebagai fakta yang akurat, disinformasi/informasi yang sengaja disebar
meskipun telah diketahui informasi salah dan mal-informasi/ informasi akurat namun
merugikan pihak lain (Wardle dan Deraksan, 2018).
Salah satu dari kekacauan informasi adalah Hoax, Hoax politik khususnya cukup
mendominasi berita-berita yang tersebar dan banyak terakomodasi oleh media sosial.
Penggunaan media sosial yang diakses hampir semua orang, menyebabkan informasi hoax
begitu massif dan kerap dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk memprovokasi.
Gelombang ancaman hoax ini seakan semakin membesar kemungkinan diakibatkan oleh tim pendukung
masing-masing sedang merebut perhatian warga masyarakat sehingga memproduksi hoax yang
sifatnya hiperbola, provokatif, emosional, tidak berdasar fakta dan diragukan kebenarannya.
Seiring dengan perkembangan teknologi, masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi
apa pun dari berbagai aplikasi media sosial diantaranya Instagram, LINE, dan Whatsapp tetapi
semakin mudah pula pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menyebarkan berita
hoax. Kekacauan informasi seperti ini berpotensi menimbulkan resiko konflik serta krisis
kepercayaan oleh masyarakat. Hoax politik ini tentunya perlu dilakukan sebagai upaya
antisipasi segera agar masyarakat tidak terjangkit virus hoax ini.
Aplikasi media sosial diantaranya Instagram, LINE, dan Whatsapp merupakan Platform
arus informasi yang paling banyak digunakan terutama di masa pandemic Covid 19, masyarakat
semakin aktif memanfaatkan media digital untuk menerima berita maupun menangkap
informasi dengan cepat melalui perangkat media sosial. Survey Mastel (2017) mengungkapkan
bahwa dari 1.146 responden, 44,3% diantaranya menerima berita hoax setiap hari dan 17,2%
menerima lebih dari satu kali dalam sehari.
Bahkan media arus utama yang diandalkan sebagai Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial yang dapat dipercaya terkadang ikut terkontaminasi
penyebaran hoax. Hasil survey ini menunjukkan bahwa betapa tingginya tingkat konsumsi
masyarakat terhadap penyebaran berita Hoax.
Tentunya perkembangan teknologi yang semakin cepat harus diiringi juga dengan pola
pikir pengguna media sosial yang memiliki kompetensi literasi digital yang baik sehingga dalam
menerima dan menyebarkan informasi melalui teknologi sesuai dengan fakta kebenaran.
Konsep literasi digital dilontarkan oleh Paul Gilster pertama kali pada tahun 1997 dalam buku
berjudul Digital Literacy. Gilster mendefinisikannya secara sederhana sebagai ‘literacy†in†the
digital†age’, atau kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi melalui beragam
sumber digital. Pada titik inilah konsep literasi digital muncul sebagai tuntutan sekaligus
panduan untuk menempatkan diri di dalam peradaban media baru. Arti penting literasi digital
tidak hanya dikarenakan tingginya terpaan media saja, melainkan adanya beberapa faktor
lainnya. Pertama, peran penting informasi dalam proses demokrasi. Kedua, peran penting
partisipasi budaya dan kewarganegaraan. Ketiga, berkembangnya budaya popular membuat
anak dan remaja semakin banyak mengakses media digital (Koltay, 2011).
Sehingga dengan begitu gerakan yang harus dilakukan dalam mendistribusikan informasi politik untuk melawan
Hoax adalah pengguna media digital harus mempertimbangkan informasi tersebut layak, dapat
dipercaya dan bermanfaat bagi penerima pesan dengan memperhitungkan konsekuensi logis
dari informasi yang disebar serta mendorong ketersediaan informasi yang berkualitas.
Selain itu untuk memfilter informasi yang beranekaragam. Ini menjadi sebuah tantangan bagi masyarakat
untuk menentukan sikap dari informasi tersebut, sebab langkah kita hari ini ditentukan dari
sikap kita dalam menciptakan iklim demokratis sebagai warga Negara yang baik.
*Dr. Nurmadhani Fitri Suyuthi SE,. M.Si adalah Dosen Universitas Fajar, menamatkan pendidikan S1 Program Studi Ekonomi, Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Tahun 2007, menamatkan pendidikan S2 Program Pasca Sarjana, Program Studi Manajemen Keuangan, Konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia, Universitas Hasanuddin Tahun 2011, dan menamatkan pendidikan S3 Program Doktoral Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Tahun 2019. Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar Timur, Ikatan Mahasiswa Manajemen Unhas, Pengurus Senat Mahasiswa Ekonomi Unhas, dan Mantan Pengurus MASIKA ICMI Sulsel 2015-2019 aktif menulis di jurnal ilmiah dan berbagai media. (AWN)