Next Post

#METOO – DARI AMERIKA HINGGA KE CINA (Bagian 3) Benarkah #MeToo Tidak Sampai di Indonesia?

w e a r e a l l c r e a t e d e q u a l

Penulis: Fitri Usman Ali

Pemerhati Gerakan Perempuan


AWN, (01/03/21) – Mabuk, Mahasiswi Diperkosa 7 Orang di Makassar

Istri Selalu Tolak Berhubungan Badan, Suami Tega Perkosa Anak Berusia 8 Tahun

Dua contoh tajuk berita dari dua media massa berbeda di atas mungkin bertujuan untuk menarik pembaca. Namun, redaksi kalimat semacam itu mengandung makna tersirat yang menunjukkan seolah-olah beban kesalahan dipikul oleh pihak perempuan. Fatal? Tentu saja! Itulah salah satu bukti nyata bagaimana dan mengapa budaya Victim Blaming begitu sulit untuk dihapuskan di Indonesia.

Melansir dari Regional.Kompas.com, pemerkosaan bergilir terhadap mahasiswi yang terjadi pada tanggal 20 September 2020 dini hari di sebuah hotel di Makassar, diduga kuat telah direncanakan sebelumnya oleh para pelaku, sebab salah satu pelaku telah melakukan pendekatan sejak masih berada di tempat hiburan malam. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Kanit Reskrim Polsek Panakkukang Iptu Iqbal. Terlebih lagi, korban dibawa ke hotel dalam kondisi tidak sadarkan diri. Kondisi korban yang berada di bawah pengaruh alkohol inilah yang dibesar-besarkan di beberapa media, sehingga alih-alih mendapatkan simpati atas kemalangan yang menimpanya, korban malah dikecam sebagian besar warga Makassar dengan beragam komentar yang menyalahkan korban. Meminum minuman beralkohol hingga tak sadarkan diri memang bukan perbuatan terpuji, tapi bukan berarti itu sebuah persetujuan seorang perempuan untuk diperkosa. Sama sekali bukan!

Berdalih dengan cara menyalahkan pihak perempuan (istrinya) juga dilakukan AH, warga Palangkaraya yang mengaku memerkosa anak tirinya yang masih berusia 8 tahun -juga masih di bulan yang sama dengan kasus di Makassar- karena tidak diberi “jatah” oleh ibu korban. Pelaku berusaha memanipulasi keadaan dengan melimpahkan kesalahan kepada istrinya, padahal perbuatan bejat tersebut telah ia lakukan sebanyak lima kali.

Sikap negatif menyalahkan korban (Victim Blaming) memang kerap ditunjukkan sebagian masyarakat Indonesia terhadap korban kekerasan seksual. Hal ini bukan tanpa alasan, budaya patriarki yang mengakar kuat, pemaknaan nilai-nilai agama yang konservatif dan menganggap perempuan sebagai sumber fitnah, serta lemahnya payung hukum dalam menuntaskan kasus, dianggap sebagai kombinasi yang kerap mematikan harapan korban untuk mendapatkan keadilan dan malah berakhir sebaliknya. Lantas, apakah faktor-faktor ini pula yang menyebabkan efek domino kampanye #MeToo yang berhasil menembus beberapa negara justru malah terputus di Indonesia? Sila dianalisa sendiri ya…

Pada tahun 2017, di saat gerakan #MeToo sedang memanas di Amerika dan di beberapa negara lain, di tahun ini pula kasus seorang guru honorer bernama Baiq Nuril Maknun bergulir. Sang ibu guru merekam percakapannya dengan kepala sekolahnya yang saat itu meneleponnya dan menceritakan pengalaman seksualnya. Perempuan yang diceritakan oleh kepala sekolah dikenal juga oleh ibu Nuril, sehingga ia memutuskan untuk merekam pembicaraan sebagai bukti, terlebih lagi kejadian yang diceritakan dianggap ibu Nuril sebagai pelecehan. Sebenarnya rekan ibu Nuril-lah yang menyebabkan rekaman suara tersebut tersebar yang berujung pada pemecatan terhadap Ibu Nuril sekaligus penahanan atas dasar Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Ia dituduh telah melakukan tindak pidana karena telah merekam dan membagi rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan. Lalu bagaimana dengan si kepala sekolah? Ia dimutasi menjadi Kepala Seksi Dinas Dikpora Mataram. Kasus ibu Nuril diproses hingga ke Mahkamah Agung yang pada akhirnya tetap memutuskan ia bersalah, bahkan Peninjauan Kembali pun ditolak. MA menganggap ibu Nuril pantas dipenjara karena telah merekam percakapan mesum yang mempermalukan kepala sekolah beserta keluarga besarnya. Untungnya Ibu Nuril berhasil bebas setelah mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo pada Juli 2019. Amnesti diberikan karena kuatnya dukungan sekaligus tuntutan masyarakat luas, bahkan muncul gerakan #SaveIbuNuril dan Koin Untuk Nuril.

Kasus ibu Nuril diharapkan akan memberi efek domino, seperti yang ditimbulkan gerakan #MeToo yang berhasil mengirim beberapa pesohor pelaku kekerasan seksual ke balik jeruji, bahkan mampu melahirkan revisi undang-undang perlindungan perempuan, bukan hanya di Amerika tapi juga di beberapa negara lain. Sayangnya harapan hanya tinggal harapan. Gerakan solidaritas sepertinya hanya terhenti sampai di kasus ibu Nuril, korban yang membagi pengalaman kekerasan seksual hingga memprosesnya secara hukum pun sudah sangat jarang terdengar. Para penyintas umumnya hanya berani membagi kisahnya apabila nama dirinya dan nama pelaku disamarkan. Tidak seperti di negara lain yang menyebut nama pelaku di media sosial secara terang-terangan dan tentunya diikuti tagar #MeToo.

Berita buruknya adalah (kapan nih berita baiknya?) data dari Komnas Perempuan menyingkap fakta bahwa tiap 2 jam, ada 3 perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Parahnya lagi, kekerasan seksual bahkan juga menimpa anak-anak. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan bahwa sejak Januari hingga 31 Juli 2020 terdapat 2.556 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Sementara itu, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang diharapkan akan menjadi payung hukum segala bentuk tindakan kekerasan seksual di Indonesia dan telah diajukan oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2012, belum juga menuai titik terang untuk disahkan menjadi undang-undang. Justru sebaliknya, RUU PKS mendapat penolakan dari beberapa elemen publik yang mengatasnamakan agama.

Melansir dari Tirto.id, pada bulan November 2020, sebuah kasus pemerkosaan yang telah terjadi selama setahun dilaporkan keluarga korban ke Polres Tasikmalaya. Rasmi (nama samaran korban) kini mengalami trauma berat akibat dilecehkan dan diperkosa 10 pria di lokasi yang berbeda-beda. Korban yang masih berusia 16 tahun ini mendapat ancaman pembunuhan jika menolak melayani pelaku atau jika ingin melaporkan perbuatan bejat tersebut.

Kasus kekerasan seksual telah dianggap selesai di ranah hukum apabila pelaku telah mendapatkan vonis yang setimpal. Akan tetapi, apakah trauma para korban juga akan selesai di saat yang sama? Kapan Indonesia akan menjadi ruang aman bagi perempuan dan anak-anak? Apakah harus menunggu lebih banyak Rasmi yang lain agar RUU PKS disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat?

Mari berdoa untuk keamanan perempuan dan anak-anak di Indonesia…

#SahkanRUUPKS #JanganTundaLagi

asiawomennews

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Newsletter

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.

Recent News