Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPP), Bintang Puspayoga menuturkan perjalanan proses penyusunan RUU TPKS ini tidak ditempuh dalam waktu yang singkat. Pasang surut proses pembahasan RUU TPKS yang semula dinamakan RUU PKS telah berlangsung selama 6 tahun.
“Selama 6 tahun inni menjadi masa pembelajaran penting. Perjalanan ini membawa kami menemukan sebuah hal mendasar yaitu betapa krusial dan berharganya sebuah dialog. Dialog berperan besar dalam mengurai sekat-sekat dan membuat simpul-simpul titik temu,” ungkap Menteri Bintang dalam kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh KemenPPPA untuk membahas isu-isu terkini seputar perempuan dan anak ‘Media Talk’ yang kali ini mengangkat tema “Tok! RUU TPKS Sepakat Diteruskan ke Sidang Paripurna DPR RI” Jumat (8/4).
Menteri Bintang menjelaskan tantangan serta hambatan yang ditemui di tahun-tahun sebelumnya oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sebagai leading sector dari tim pemerintah, justru dijadikan pemecut dalam merampungkan RUU TPKS. Memperkuat kerja sama dengan kementrian lain yang menjadi anggota tim pemerintah, belajar memahami pengalaman para pendamping korban, organisasi keagamaan, mahasiswa dan kaum muda serta organisasi pekerja, hingga memahami pandangan pihak-pihak yang menyatakan kontra terhadap RUU tersebut.
“DIM RUU TPKS dibahas dengan hati-hati, sehingga terjadi perpaduan pandangan. Silang pendapat berubah menjadi tukar pikiran, yang semakin kental dengan Nuansa Musyawarah mencapai mufakat. Prioritas utama Undang-Undang ini adalah kehadiran Negara untuk melindungi Korban. Inilah yang menjahit berbagai kepentingan dan semangat berjuang baik Pemerintah, Masyarakat Sipil, dan DPR, memperjuangkan Undang-Undang ini. Kami akan terus membawa semangat itu,” jelas Menteri Bintang.
Disampaikan Menteri Bintang terdapat XII BAB dan 81 Pasal dari DIM RUU TPKS yang sebelumnya diajukan oleh pemerintah, dan dalam Pembicaraan Tingkat I dengan DPR RI telah disetujui RUU TPKS meliputi XII BAB, 93 Pasal. Dimana RUU TPKS memuat pengaturan umum mengenai pengertian TPKS, Korporasi, Korban, Anak, Saksi, Keluarga, Penyandang Disabilitas, Pelayanan Terpadu, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Pendamping, Pencegahan, Penanganan, Pelindungan, Pemulihan, Rehabilitasi, Restitusi, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Menteri.
“Undang-Undang TPKS ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan Korban; melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual,” ujar Menteri Bintang.
Menteri Bintang menggambarkan secara umum dalam RUU TPKS terdapat pengaturan 9 (sembilan) jenis TPKS yakni pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik serta TPKS lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pasal bridging dengan KUHP dan Undang-Undang lainnya. Perkara TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. RUU TPKS juga melakukan pembaruan hukum acara sebelum, selama dan setelah proses hukum.
“Terobosan di dalam RUU ini juga terlihat pada pengaturan pelayanan terpadu terhadap korban yang dilakukan secara komprehensif oleh Pemerintah, penegak hukum dan layanan berbasis masyarakat. Pengaturan ini salah satunya diharapkan memberikan implikasi positif terhadap percepatan penanganan dan menghapuskan reviktimisasi pada korban,” tambah Menteri Bintang.
Dalam RUU TPKS, Negara hadir memenuhi hak korban atas dana Pemulihan termasuk layanan kesehatan saat korban mendapat perawatan medis, dana Penanganan Korban sebelum, selama dan setelah proses hukum, termasuk pembayaran kompensasi untuk mencukupi sejumlah Restitusi ketika harta kekayaan pelaku yang disita tidak cukup. Tidak hanya itu, RUU TPKS juga menjamin pemberian upaya pencegahan dan penanganan di wilayah-wilayah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal), daerah konflik, daerah bencana dan di semua tempat yang berpotensi terjadinya TPKS. Pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam Pencegahan, Pendampingan, Pemulihan, dan pemantauan terhadap TPKS, serta partisipasi keluarga dalam Pencegahan TPKS juga diatur dalam RUU TPKS.
“RUU TPKS merupakan wujud nyata kehadiran negara untuk melindungi warga negara dari kekerasan seksual. Ini adalah penantian korban, penantian kita semua. Jadi kepentingan korbanlah yang akan kami pastikan terdepan dalam pelaksanaan Undang-Undang ini. Untuk itu kami membutuhkan kerjasama dan dukungan dari semua pihak,”tutup Menteri Bintang.(AWN)