Next Post

Menteri Bintang Ajak Masyarakat Kritis Terhadap Tontonan Anak

db974-dj92

Jakarta, AWN (4/11/2020) – Bagi anak tontonan adalah tuntunan. Film mampu menjadi tren bagi penontonnya, terutama anak-anak, apalagi selama pandemi masyarakat menonton apa yang disiarkan di rumah. Oleh karenanya, masyarakat dituntut untuk semakin kritis dalam memilah dan memilih film yang mereka tonton, salah satunya melalui Budaya Sensor Mandiri. Namun di balik itu, arah kemajuan industri film ditentukan oleh peran para sineas dan sinergi antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.

“Bagi anak tontonan adalah tuntunan. Film bukan sekadar hiburan bagi anak, namun juga sebagai sumber informasi hingga fungsi budaya dan pendidikan. Anak-anak dapat meniru berbagai tokoh yang ditontonnya dan juga berperan dalam pembentukan tren yang kemudian menjadi panutan bagi mereka. Untuk itu, sangat penting bagi produsen dan lembaga sensor film memahami hal ini, sehingga film yang dibuat diharapkan benar-benar dapat memberikan nilai-nilai positif atau ramah anak,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga pada webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film RI dengan tema Film dalam Perspektif Perlindungan Anak dan Hak Asasi Perempuan yang merupakan rangkaian kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri (3/11).

Senada dengan Menteri Bintang, sutradara, penulis skenario, dan produser film, Joko Anwar mengatakan bahwa naik turunnya perfilman di suatu negara tentu tidak terlepas dari peran para sineas dengan para pemangku kepentingan. Joko Anwar menceritakan perfilman Indonesia mampu bangkit kembali hingga menembus festival film internasional hingga box office dunia setelah hampir satu dekade “mati suri”. Namun, jika dibandingkan dengan industri perfilman Korea Selatan yang sedang naik daun, para pemangku kepentingan industri perfilman Indonesia belum mampu saling bersinergi.

“Walaupun di awal tahun 1990 perfilman di Korea Selatan tidak diminati oleh masyarakatnya sendiri, namun para pemangku kepentingannya berhasil duduk bersama untuk memajukan perfilman Korea Selatan. Para pemangku kepentingan perfilman Korea Selatan tersebut diantaranya pemerintah, lembaga pendidikan, dan dunia usaha. Hal ini dimulai dari inisiatif dan keinginan Pemerintah Korea Selatan sebagai eksportir budaya Korea Selatan ke seluruh dunia,” ungkap Joko Anwar.

Terkait konten perfilman, Lembaga Sensor Film RI melaporkan bahwa pada tahun 2019, film dengan kategori usia “semua umur” (yang berarti ramah ditonton anak) hanya sekitar 10-14 persen. Jumlah penonton anak tidak sebanding dengan jumlah film anak yang tersedia. Kondisi ini membuat penonton anak, beralih turut menonton genre film yang tidak sesuai dengan usia mereka. 

Ketua Lembaga Sensor Film RI, Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan bahwa Budaya Sensor Mandiri bertujuan agar masyarakat mampu memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia. Apalagi di masa pandemi, masyarakat menonton apa yang disiarkan di rumah mereka, baik dikonsumsi secara bebas maupun berbayar. 

Anggota Komisi I DPR RI, Christina Aryani mengatakan bahwa potret isi siaran saat ini belum sepenuhnya merujuk pada ketentuan Undang-Undang Penyiaran, serta masih terdapat konten kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Potret isi siaran yang ditayangkan lembaga penyiaran saat ini dirasakan belum sepenuhnya merujuk kepada ketentuan Undang-Undang Penyiaran. Padahal, penyiaran merupakan kegiatan komunikasi massa yang berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, perekat bangsa, dan kontrol sosial. Hingga saat ini masih ditemukan konten siaran yang belum memberikan perlindungan bagi anak dan perempuan. Hal ini menjadi permasalahan serius. Oleh karenanya, menjadi penting untuk dilakukan sosialisasi Budaya Sensor Mandiri untuk mendayagunakan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia,” tutur Christina.

Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Maria Ulfah Ansor mengatakan bahwa dalam perfilman Indonesia perempuan juga seringkali menjadi objek terhadap “ketubuhan” perempuan. Perempuan belum menjadi subjek, perempuan mempunyai pengalaman, hak, dan perspektif yang harus dihargai, bahkan dalam proses perfilman Indonesia.

Menteri Bintang mengapresiasi dan mendukung Lembaga Sensor Film yang telah mencanangkan Budaya Sensor Mandiri agar masyarakat memiliki kemampuan dan kesadaran memilih dan memilah tontonan, sesuai dengan klasifikasi usianya. 

“Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri menjadi bagian penting dalam upaya untuk melindungi dan memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan tontonan dan film bermutu. Saya juga mendorong semua pihak, baik kementerian/lembaga, perguruan tinggi, sekolah, organisasi profesi, masyarakat, serta para pelaku perfilman nasional agar secara aktif berperan serta dalam upaya pemenuhan hak anak untuk mendapatkan informasi yang layak anak, termasuk perfilman,” tutup Menteri Bintang.(AWN)

asiawomennews

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Newsletter

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.

Recent News