Jakarta, AWN (20/02/21) – Memastikan perempuan dan anak di Indonesia mendapatkan perlindungan dan terpenuhi haknya adalah tanggung jawab kita bersama. Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengamanatkan negara untuk memberikan perlindungan khususnya bagi perempuan dan anak agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Vennetia R Danes menegaskan dalam Webinar Stop Perkawinan Anak: Cegah Kekerasan Terhadap Perempuan Presiden telah memberikan arahan kepada Kemen PPPA untuk melaksanakan 5 (lima) isu prioritas dimana arahan ke-3 yaitu “Penurunan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” dan arahan ke-5 yaitu “Pencegahan Perkawinan Anak”.
“Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual; 1 dari 4 perempuan yang pernah/sedang menikah pernah mengalami kekerasan berbasis ekonomi; dan 1 dari 5 perempuan yang pernah/sedang menikah mengalami kekerasan psikis. Data tersebut menggambarkan bahwa permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi tantangan bersama dan perlu dilakukan upaya bersama seluruh pihak untuk melindungi perempuan dan anak,” ujar Vennetia.
Vennetia menambahkan upaya menurunkan angka perkawinan anak dan menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak tentu merupakan upaya yang harus dilakukan secara bersama-sama dan perlu melibatkan banyak pihak, baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah.
“Pernikahan merupakan fase penting dalam kehidupan yang tentunya membutuhkan kesiapan, baik secara finansial, mental, maupun emosional. Ketidaksiapan anak secara psikologis dalam menjalani kehidupan rumah tangga berpotensi memunculkan konflik, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan adanya ketimpangan relasi kuasa menjadikan perempuan lebih berpotensi menjadi korban kekerasan. Sementara dari aspek kesehatan, anak perempuan yang menikah di usia muda berisiko mengalami keguguran, gangguan fungsi reproduksi, komplikasi medis hingga ancaman kematian baik pada ibu maupun pada anak saat proses melahirkan. Jelas terlihat bahwa lebih banyak dampak negatif dari perkawinan anak, oleh karena itu mari bersama kita bersinergi untuk mencegah perkawinan anak dan kekerasan pada perempuan,” ujar Vennetia.
Lebih lanjut Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama menjadi bagian dari kampanye stop terjadinya perkawinan anak. Perlindungan anak menjadi tanggung jawab kita bersama termasuk anak itu sendiri.
“Mari bersama menghentikan perkawinan anak. Sejumlah intervensi perlu dilakukan bersama dengan memintarkan anak yang tergabung dalam wadah forum anak; melalui PUSPAGA yang mampu melayani keluarga; satuan pendidikan melalui Sekolah Ramah Anak, Madrasah Ramah Anak; Lembaga pencatatan seperti Kantor Urusan Agama dan Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil; Lembaga hukum seperti Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, dan paralegal tingkat komunitas; Lembaga kesehatan yakni Puskesmas Ramah Anak; masyarakat melalui PKK, KOWANI, dan organisasi pemerhati masyarakat; dan juga Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM),” ujar Lenny.
Lenny menambahkan Kemen PPPA tengah memperkuat berbagai upaya pencegahan perkawinan anak melalui sinergi dengan Kementerian/Lembaga. “Kemen PPPA dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sudah menandatangani nota kesepahaman tentang program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak. Selain itu, kami juga tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Dispensasi Kawin sebagai pelengkap Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 tentang dispensasi kawin. Berbagai upaya telah dan akan terus kami lakukan namun kami tidak dapat bekerja sendiri, untuk itu mari bergandengan tangan untuk memberikan yang terbaik bagi 80 juta anak Indonesia,” ujar Lenny.
Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK-PBN), Alissa Wahid mengatakan penurunan angka perkawinan anak dalam 10 tahun terakhir tidak terjadi secara cukup signifikan. Dinamika Perkawinan anak di masyarakat masih kuat dengan naik turunnya angka perkawinan anak setiap tahunnya.
“Perkawinan anak sebagai bagian dari bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak anak. Berbagai upaya tentunya sudah dilakukan, namun dalam konteks perkawinan anak, tidak semua orang setuju perkawinan anak harus dihilangkan, perkawinan anak masih disetujui dengan alasan ekonomi, budaya, dan agama. Hal lain yang juga menjadi alasan masih adanya perkawinan anak adalah para pemuka agama masih banyak mempromosikan kawin anak, budaya patriarki, dispensasi dan isbat nikah masih banyak terjadi akibat pendidikan yang kurang dan faktor kemiskinan,” ujar Alissa.
Alissa mengatakan terjadinya perkawinan anak mengakibatkan anak kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri; anak belum mampu membangun hubungan yang sejajar di bawah relasi kuasa; ketergantungan penuh pada pasangan; anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis; anak terjerat kemiskinan. “Dalam perkawinan anak, anak belum mampu membangun keluarga yang memiliki perspektif kemaslahatan. Untuk itu, dalam upaya mencegah perkawinan anak, besar harapan agar kita menjadi champion yang berdedikasi dan berkomitmen dalam mencegah perkawinan anak,” ujar Alissa.
Sementara itu, catatan perkawinan anak sebagai korban kekerasan terhadap perempuan dari potret media juga tidak kalah penting. Ketua Bidang Gender, Anak dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen, Endah Lismartini menjelaskan saat media memberitakan pemberitaan perkawinan anak ataupun kekerasan terhadap anak yang masih banyak belum ramah anak, padahal pemberitaan terhadap anak khususnya yang negatif akan berdampak pada masa depan anak.
“Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) harus diperhatikan sebelum mempublikasikan pemberitaan terkait anak. Dalam pemberitaan terkait anak hal-hal seperti identitas, alamat, dan tempat tinggal harus dirahasiakan untuk melindungi anak. Dalam pemberitaan anak sebisa mungkin dilakukan sensor/kontrol terhadap materi pemberitaan agar tidak terjadi eksploitasi terhadap anak dari pemberitaan tersebut. Pemberitaan yang mengeksploitasi anak menyebabkan anak menjadi korban dua kali dan termasuk pelanggaran hak anak,” ujar Endah.
Endah menyebutkan perkawinan anak dalam perspektif media mengandung seluruh nilai berita. Namun masih banyak media yang dalam membuat judul tidak berpihak dengan anak dan tidak mengacu pada PPRA. “Misalnya saja media yang membuat berita dengan judul “Viral pernikahan Anak di bawah umur, saling suka dengan pria 44 tahun” Hal ini seolah biasa saja dan bisa diterima padahal jelas tidak mengandung unsur berita ramah anak yang melindung hak-hak anak. Sikap Media idealnya memiliki pemahaman tentang isu, redaksi memiliki sikap berpihak pada anak; dan pemberitaan terkait anak yang berperspektif anak mengacu pada PPRA,” tambah Endah.(awn/fh)