Next Post

Dalam Rangka Pencegahan Kekerasan Seksual, Menteri PPPA Ajak Seluruh Lembaga Kembangkan Kode Etik

Siaran Pers Nomor B-430SETMENHM.02.04112021

Jakarta, AWN (16/11/2021) – Dalam Seminar Nasional Pekan Progresif 2021 secara virtual, pada Sabtu (13/11), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak lembaga pemerintah, penegak hukum, pendidikan, serta lembaga negeri maupun swasta lainnya untuk mengembangkan kode etik pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Menteri Bintang menyampaikan bahwa “Peraturan ini merupakan terobosan penting karena dapat menjadi suatu pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan serta mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang pada akhirnya dapat menciptakan kehidupan kampus yang semakin positif, tanpa kekerasan. Peraturan ini juga telah memasukan bentuk kekerasan seksual yang terjadi di dunia teknologi informasi komunikasi. Kami juga berharap lembaga lainnya, baik swasta maupun negeri, untuk mulai mengembangkan kode etik di lembaga masing masing.”

Menteri Bintang juga menyatakan bahwa kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak yang besar bagi perempuan dan anak, bahkan bisa mencapai kematian, masalah kesehatan mental, hingga hilangnya produtivitas yang berpengaruh terhadap ekonomi. “Selain merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, pada level negara, beban ekonomi yang ditanggung dalam pencegahan hingga penanganan kekerasan juga sangat besar. Tentunya jika kita dapat menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka sumber daya ekonomi ini dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Untuk itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah kita bersama,” ucap Menteri Bintang.

Di sisi lain, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), Puan Maharani, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih terjadi hingga saat ini tidak dapat terus menerus diabaikan. “Jika kita mengikuti konstitusi Republik Indonesia, maka angka kekerasan kepada perempuan dan anak harus kita tekan sampai mencapai angka nol. Perlu ada keberpihakan kepada perempuan dan anak untuk mencegah adanya tindakan kekerasan kepada mereka. DPR RI terus memperhatikan berbagai kasus yang muncul dan mendorong pemerintah serta aparat penegak hukum agar melindungi korban, jangan sampai korban kekerasan menjadi korban prosedur hukum,” sebut Puan.

Sementara itu, Manajer Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo, sepakat mengenai pentingnya pembentukan peraturan di masing-masing lembaga terkait kekerasan seksual. Ia pun menyebutkan bahwa “Undang-Undang cakupannya general, supaya bisa masuk sampai ke lembaga-lembaga, maka harus diterjemahkan ke dalam peraturan yang sifatnya lebih teknis, sehingga lebih mudah dilaksanakan. Selain itu, perlu itikad dari orang-orang yang ada di lembaga untuk mengusulkan pembentukan peraturan, kalau universitas, peraturan di tingkat universitas, fakultas, dan prodi karena kalau tidak seperti itu, maka tidak akan dilaksanakan.”

Selain itu, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti juga mengatakan bahwa perempuan dan anak merupakan warga negara yang hak asasinya wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. “Akar dari hak asasi manusia adalah martabat. Tidak ada pengecualian, termasuk semua jenis kelamin, orientasi seksual, ekspresi gender, anak, kelompok disabilitas, dan semua perbedaan lainnya yang sifatnya natural,” kata Bivitri.

Sementara hingga saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi. Pada tahun 2021, terjadi 3355 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 3410. (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kemen PPPA, periode 1 Januari-31 Mei 2021).

Realitas di pengadilan juga menunjukkan, dalam tindak pidana persetubuhan atau hubungan seksual terhadap perempuan di luar pernikahan dengan repetisi, pelaku yang paling banyak dibebaskan adalah pelaku yang memiliki hubungan relasi horizontal dengan korban, yaitu tiga kasus. Sementara itu, hanya terdapat satu kasus yang mendapatkan vonis tertinggi, yaitu 9-12 tahun (Data Masyarakat Penilai Profesi Indonesia (MaPPI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) pada 2018, Asesmen Konsistensi Putusan Pengadilan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan).

Lebih jauh lagi, Bivitri menyebutkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara harus bebas dari kekerasan. Namun demikian, masih banyak peraturan perundang-undangan yang mengandung kekosongan hukum serta belum memberikan keadilan bagi korban. “Dibutuhkan pembentukan hukum yang mampu mengejar ketertinggalan. Penolakan terhadap penciptaan negara yang bebas kekerasan seksual menunjukkan pandangan yang tidak progresif, justru mundur ke belakang. Menjadi tidak memajukan peradaban bangsa, melainkan mundur ke masa-masa belum beradab, di mana perempuan dan anak tidak dianggap sebagai manusia yang utuh dan bermartabat,” tutup Bivitri. (AWN/sw)

asiawomennews

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Newsletter

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.

Recent News