AWN, (26/02/21) – “Jangan pakai itu, nanti apa kata orang.”
“Nanti apa kata orang kalau tahu kamu gagal dalam tes.”
“Dandannya yang biasa aja supaya orang gak kaget melihat kamu.”
Terbiasa mendengar kalimat semacam itu dari orang tua, saudara dan orang-orang di sekitarmu?
Kenapa sih sebagian besar dari kita dibekali “ilmu sesat” yang bernama nanti apa kata orang?
Saya menyebutnya “ilmu sesat” karena kalimat-kalimat seperti itu bisa memberikan sugesti negatif jika disampaikan berulang-ulang yang berujung pada rendahnya penghargaan dan kepercayaan diri. Bukankah tidak nyaman jika selalu merasa “kurang” dan “salah”?
Menurut Raj Raghunathan dalam Psychology Today, kekhawatiran tentang apa yang orang lain pikirkan tentang diri kita berasal dari rasa takut akan kehilangan sebuah hubungan. Ya, kehidupan manusia memang berkutat pada lingkaran hubungan. Hubungan dengan pasangan, sahabat, rekan kerja, atasan, tetangga, mertua, ipar dan sederet daftar panjang lainnya. Sebagai makhluk sosial, sudah sewajarnya jika timbul kebutuhan untuk merasa disukai dan diterima karena dalam keseharian hampir semua kegiatan yang dilakukan melibatkan orang lain. Namun hal ini akan menjadi bumerang ketika kadarnya sudah di luar batas atau sudah menjadi sebuah obsesi. Misalnya:
- Berjam-jam memikirkan foto selfie mana yang akan diposting di media sosial karena terlalu mencemaskan bagaimana pendapat orang nantinya mengenai foto tersebut. Apakah akan mendapatkan banyak like atau tidak? Apakah foto tersebut terlihat pantas dan rupawan?
- Terlalu sensitif terhadap isi percakapan (sms atau chat). Merenungi mengapa balasannya sangat lama atau kata-katanya terlalu singkat. Padahal bisa saja kan orang yang dikirimi pesan memang sedang sibuk, berada di kamar mandi atau mengurus hal lain.
- Memikirkan kesalahan atau tindakan yang dianggap memalukan hingga berminggu-minggu dan terus-menerus merasa kehilangan harga diri. Faktanya, ada sedikit orang yang akan mengingat tindakan kita dan ada banyak yang akan melupakannya, bahkan sebagian lainnya sama sekali tidak peduli.
Lalu apa yang harus dilakukan agar terbebas dari penjara penilaian orang lain?
Dalam Psych Central dijelaskan bahwa pendapat orang lain tentang diri kita adalah urusan mereka. Pendapat mereka tidak ada hubungannya dengan kita. Justru sebaliknya, pendapat orang lain sangat berhubungan dengan apa yang disukai dan tidak disukainya, pun bisa berkaitan dengan masa lalu dan harapannya.
Solusi yang tidak jauh berbeda juga dipaparkan oleh Raj Raghunathan: tetaplah perhatian dan jangan berhenti berbuat baik. Apabila kebaikan dan perhatian masih mendapat penghakiman dan celetukan negatif dari seseorang, maka itu gambaran kualitas dirinya. Niatmu baik, pun tindakan dan perhatianmu. Jadi tidak perlu merasa bersalah.
Masih menurut Raj, ada kalanya penilaian orang lain juga berguna untuk memotivasi diri menjadi pribadi yang lebih baik. Self-growth ini bisa terwujud dengan satu syarat: mengakui kekurangan, lalu bertekad untuk memperbaiki diri secara konsisten.
Kesimpulannya, hidup terlalu sia-sia jika hanya dihabiskan untuk mendapatkan validasi orang lain.
Hidupmu adalah tentang dirimu, tanggung jawabmu, tentang kewarasan dan kesehatan jiwamu.
Hiduplah dalam kendalimu. Berbahagialah…
“We don’t live in other people’s heads.” –Anonymous- (awn/ftr)