AWN, (20/02/21) – “Overthinking: the art of creating problems that were not even there.” Sebuah kalimat oleh anonim yang terdengar menggelitik namun cukup akurat dalam menggambarkan kondisi ketika seseorang terjebak overthinking. Memikirkan sesuatu secara berlebihan, lagi dan lagi, ya, itulah ciri khas overthinking. Bukannya membantu berpikir logis untuk menemukan jalan keluar, perilaku overthinking justru bisa berujung stres dan gangguan kecemasan. Tentu saja setiap individu memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan hidupnya, namun ada sebagian besar manusia yang memikirkan sebuah “topik” secara berlebihan atau dalam kurun waktu yang lama, seolah hal itu tidak bisa lepas dari pikirannya dan otaknya terlalu sibuk membahasnya. Intinya, terjebak dalam kepala dan pikirannya sendiri (umumnya didominasi oleh pikiran negatif yang menggelisahkan, semakin dipikirkan, semakin menimbulkan rasa tidak nyaman). Merasakan hal yang sama? Semoga tidak ya…
Terdapat dua jenis overthinking, yang pertama merenungi masa lalu dan yang kedua mengkhawatirkan masa depan. Perlu digarisbawahi bahwa overthinking tidak sama dengan berpikir sehat untuk mencari penyelesaian masalah, yang terjadi malah sebaliknya, overthinking justru membuat seseorang (hanya) memikirkan masalahnya, bukan solusinya. Inilah letak kekeliruannya. Overthinking juga bukan refleksi diri karena tidak memberikan pencerahan atau pemahaman terkait hikmah di balik sebuah peristiwa di masa lalu. Overthinking malah berfokus pada hal-hal yang dulunya tidak mampu dikendalikan, sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau bahkan penyesalan secara berulang-ulang.
Untuk lebih memahaminya, berikut 10 tanda-tanda seseorang sedang mengidap overthinking menurut Amy Morin, seorang psikoterapis dan penulis buku 13 Things Mentally Strong People Don’t Do yang telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa.
- Selalu merasa khawatir.
- Mencemaskan hal-hal yang (sebenarnya) tidak dapat dikendalikan.
- Mengingatkan diri sendiri secara berulang-ulang mengenai kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
- Terus-menerus memunculkan gambaran peristiwa-peristiwa memalukan di dalam pikiran.
- Selalu memberi pertanyaan “bagaimana jika…?” kepada diri sendiri.
- Mengalami gangguan tidur karena otak tidak bisa berhenti berpikir.
- Selalu mengingat kalimat-kalimat yang telah diucapkan (karena merasa seharusnya hal itu tidak perlu dilontarkan) ketika sedang bercakap-cakap dengan orang lain.
- Menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mencari “makna tersembunyi” di balik kata-kata orang lain atau makna di balik setiap kejadian.
- Merenungi kata-kata atau tindakan yang tidak disukai yang dilakukan orang lain.
- Menghabiskan terlalu banyak waktu untuk merenungi masa lalu atau memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan, sampai-sampai luput dari kejadian nyata di masa kini.
Apabila sebagian besar tanda-tanda di atas sesuai dengan kondisi diri saat ini, lalu apa yang harus dilakukan?
Masih menurut Amy Morin, siapapun sangat rentan terjebak overthinking, maka dari itu, dari pada berpikir berlebihan sepanjang hari, lebih baik dibuatkan jadwal. Ini tidak bercanda kan? Masa berpikir pun mesti dijadwalkan? Ini serius, sangat serius… Bukankah berhenti berpikir malah lebih mustahil? Luangkan waktu sekitar 15 menit setiap hari untuk berpikir atau merenung. Kebiasaan itu dapat berperan penting untuk mengubah overthinking menjadi refleksi diri dan penyelesaian masalah. Dengan membuat jadwal berpikir, seseorang akan memiliki kendali atas pikiran, waktu dan energinya. Selamat mencoba!(awn/ftr)
Referensi:
https://www.greatmindsclinic.co.uk/blog/what-is-overthinking-and-what-can-we-do-about-it/
https://www.forbes.com/sites/amymorin/2020/04/20/10-signs-youre-overthinking-and-what-to-do-about-it/
https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-runaway-mind/202001/are-you-overthinker